Logo Berita GKMI
Artikel

ANTARA HARTA DAN JIWA: Ketika Kaya atau Miskin dapat Menyebabkan Depresi

Date Published

Kita sering mendengar ungkapan, “Kalau punya uang banyak, pasti hidup bahagia.” Tidak salah jika banyak orang mendambakan harta, sebab uang memang bisa mempermudah hidup, seperti untuk membayar kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, hingga menabung.

Namun, tahukah Anda bahwa persoalan keuangan, baik kekurangan maupun kelimpahan, sama-sama bisa dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi? Inilah temuan menarik yang justru sering diabaikan.

Bagi mereka yang hidup pas-pasan, kita bisa memahami alasannya: penghasilan tidak cukup, utang menumpuk, tabungan tidak ada, masa depan terasa suram. Tapi, mengapa justru ada juga orang-orang yang sudah kaya raya, bahkan miliarder, tetap merasakan depresi mendalam?

Tulisan ini mengajak kita menengok dua sisi mata uang yang sama: Bagaimana kemiskinan dan kelimpahan harta sama-sama berisiko mengganggu kesehatan mental.

 

Kemiskinan dan Depresi: Rantai yang Saling Mengikat

Mari mulai dari kenyataan yang lebih sering kita lihat sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, kondisi ekonomi yang sulit memberi tekanan besar bagi mental.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 berada di angka 9,36%. Angka ini memang turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terutama setelah meredanya pandemi COVID-19. Aktivitas ekonomi mulai pulih, angka pengangguran berkurang, inflasi relatif terkendali.

Namun, meski angka kemiskinan menurun, jutaan orang Indonesia tetap hidup dalam tekanan finansial. Kehilangan pekerjaan, penghasilan berkurang, harga kebutuhan pokok naik, dan semua ini bisa memicu kecemasan, perasaan tidak berdaya, hingga depresi.

"Sans asile" (“Tuna Wisma”), oleh artis Perancis Fernand Pelez, 1883

Fenomena ini juga tercatat di berbagai penelitian. Ketika seseorang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, energi mentalnya habis untuk bertahan hidup. Hal ini membuatnya sulit berpikir jernih, mengambil keputusan rasional, atau berfokus pada hal-hal jangka panjang. Tidak heran, depresi di kalangan masyarakat miskin seringkali lebih tinggi.

Di sisi lain, gangguan mental justru bisa memperburuk kemiskinan. Orang yang mengalami depresi biasanya kehilangan motivasi, produktivitas menurun, bahkan mengakibatkan kehilangan pekerjaan. Akhirnya, kondisi ekonomi makin memburuk.

Artinya, ada lingkaran setan di sini: kemiskinan bisa memicu gangguan mental, dan gangguan mental bisa memperdalam kemiskinan.


Kekayaan dan Depresi: Bahaya dari Kelimpahan

Lalu, bagaimana dengan mereka yang hartanya melimpah? Apakah mereka terbebas dari ancaman depresi? Ternyata tidak.

Clay Cockrell, seorang psikoterapis di New York, punya pengalaman unik. Ia fokus menangani pasien dari kalangan miliarder. Dari pengalamannya, justru banyak orang kaya raya yang hidupnya diliputi kecemasan dan depresi.

Sumber: cnbc.com

Mengapa? Ada beberapa alasannya:

Kehilangan Gairah Hidup
Orang yang sudah memiliki segalanya kadang merasa “kosong”. Tidak ada lagi tantangan yang bisa memacu semangat karena segala sesuatu sudah mereka peroleh. Hidup jadi hambar, tidak ada yang akan dicapai karena sudah tercapai semua, sehingga tidak sedikit yang mencari pelarian dengan obat-obatan terlarang atau perilaku berisiko hanya untuk merasa hidup kembali.

1. Kesulitan Memercayai Orang Lain
Orang kaya sering merasa curiga, “Apakah orang ini mendekatiku karena aku pribadi, atau karena hartaku?” Kecurigaan ini membuat mereka sulit menjalin hubungan baru, bahkan dengan orang terdekat. Akibatnya, mereka terisolasi.

2. Tekanan pada Anak-anak Mereka
Anak-anak dari keluarga kaya raya sering mendapat “kemewahan prematur”. Pada usia belia, mereka sudah merasakan jet pribadi, restoran mewah, liburan eksotis. Akibatnya, ketika dewasa, mereka cepat bosan dan kehilangan motivasi. Sebagian terjerumus ke narkoba atau gaya hidup hedonistik untuk mencari sensasi baru.

3. Tekanan Warisan dan Ambisi
Banyak anak orang kaya raya merasa terbebani untuk melampaui prestasi orangtua mereka. Ini menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa.

Cockrell menyebut fenomena ini sebagai “efek toksik dari berkelimpahan”. Menurutnya, kebahagiaan tidak akan datang dari angka di rekening bank. Justru penting bagi orang kaya untuk menemukan makna lain dalam hidup: filantropi, relasi manusia yang tulus, atau membangun sesuatu dari nol.


Kaya dan Miskin: Sama-sama Butuh Kesadaran

Dari dua gambaran di atas, kita bisa belajar satu hal penting: Uang memang berpengaruh besar, tetapi uang bukan sumber kebahagiaan yang sejati.

Bagi yang kekurangan, uang membantu meringankan beban hidup. Tapi tanpa kesehatan mental yang baik, uang pun habis tanpa arah. Bagi yang berkelimpahan, uang bisa memberi kenyamanan. Namun, tanpa kesadaran dan tujuan hidup, kekayaan justru menjerumuskan.

Sumber: istock.com

Maka, yang paling penting adalah kesadaran: Sadar apa yang kita punya, sadar untuk apa harta digunakan, sadar bahwa keluarga, hubungan, dan makna hidup jauh lebih bernilai daripada angka di rekening. Kesadaran dapat dipahami sebagai mindfulness. Apa kita tahu, mengerti, dan paham betul dengan apa yang kita pikirkan dan lakukan.

Beberapa hal yang dapat kita terapkan dalam menerapkan kehidupan dengan penuh kesadaran, di antaranya membuat anggaran realistis dengan memperhatikan pemasukan dan pengeluaran sehingga memiliki aliran keuangan yang aman, belajar mengatur keuangan dari finance expert, menentukan batasan pengeluaran yang impulsif dengan menyadari perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, sehingga dapat menetapkan aturan sederhana untuk menunda selama 24 jam sehingga membeli sesuatu yang berupa kebutuhan pokok dan mendasar. Selain itu perlu juga mengelola dan meningkatkan kesaradaran untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain, tetapi lebih memfokuskan diri pada tujuan hidup dan keuangan sesuai kemampuan, serta menanamkan mindset bahwa kebahagiaan tidak selalu identik dengan barang-barang mewah.

 

Uang, Keluarga, dan Makna Hidup

Akhirnya, pelajaran terbesar dari kisah para orang kaya maupun mereka yang hidup pas-pasan adalah bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari uang.

Clay Cockrell menegaskan, kebahagiaan datang dari hubungan yang sehat, keluarga yang hangat, dan tujuan hidup yang jelas. Begitu juga bagi masyarakat menengah ke bawah, menjaga kesehatan mental dan membangun ketahanan keluarga menjadi kunci agar tekanan ekonomi tidak berubah menjadi beban jiwa yang berat.

Sumber: excellerate.ca

Seperti yang dikatakan banyak psikolog, “Uang bisa membeli kenyamanan, tetapi tidak bisa membeli kedamaian hati.”

Maka, marilah kita menata ulang pandangan kita tentang harta. Baik dalam kekurangan maupun kelimpahan, yang paling penting adalah kesadaran: apa yang kita punya, untuk apa kita menggunakannya, dan bagaimana kita menemukan makna di dalamnya.

Harta bisa menjadi berkah jika disertai syukur, kesadaran, dan cinta dalam keluarga. Tapi tanpa itu, harta bisa berubah menjadi jebakan yang merenggut kebahagiaan. (Edited MR)

 

-Reni Merta Kusuma-
Concern on Women and Mental Health
feel free to contact me via renimertakusuma2021@gmail.com